Waspala

Subscribe:

Selasa, 11 Oktober 2016

UU NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG






UU nomor 24 tahun 1992 membahas mengenai pengaturan ruang dan pemanfaatan ruang sehingga perencanaan dan pembangunan ruang lebih teratur. Undang-Undang Penataan Ruang ini diterbitkan untuk memberikan dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya penataan ruang.

Tujuan Penataan Ruang berdasarkan pasal 3 UU.24/1992

a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budi daya;
c . tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk 
  • mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
  • mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan  sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
  •  meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
  • mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
  •  mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.


Menurut pasal 2 UU.24/1992 Penataan ruang berasaskan

a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.


Selain membahas perencanaan tata ruang. Dalam pasal ini juga membahas mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam tata ruang

Hak-hak masyarakat dalam tata ruang adalah:
a. Hak untuk mengetahui rencana tata ruang;
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. Menerima penggantian yang layak atas kerugian yang  timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang  terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Kewajiban masyarakat dalam tata ruang:
a.  Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b.  Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
c.   Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan

d.  Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagia milik umum.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 yang terdiri dari 32 pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan ruang sebagai akibat penataan ruang, mengetahui rencana tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan tata ruang, memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Disamping hak, dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara ruang dan berkewajiban menaati rencana tata ruang yang diterapkan.


Sebagai UU yang cukup lama sudah sewajarnya jika UU no 24 tahun 1992 diganti dengan undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang No 26 tahun 2007. Isi dari UU no 24 tahun 1992 memang cukup lengkap membahas tata ruang namun ada beberapa point yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan saat ini. Kekurangan terbesar pada UU no 24 tahun 1992 yaitu tidak adanya kejelasan mengenai ketentuan pidana sehingga mudah terjadi penyimpangan dalam tata ruang.


Sengketa Kepemilikan Pulau Pari




Pulau Pari merupakan salah satu pulau di kep.seribu. Sebuah pulau dengan 40,32 Ha. Pulau ini sudah mulai ditempati penduduk sejak tahun 1950-an hingga saat ini jumlah penduduknya sekitar 700 jiwa, yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan dan petani rumput laut. Pulau ini juga menjadi tempat bagi laboratorium dan tempat pelatihan LIPI Oseanografi yang terletak di ujung barat pulau. Keindahan dan kelestarian alam menjadi denyut kehidupan Pulau Pari, yang kini menjadi daya tarik utama wisata bahari disana. 

Namun masyarakat Pulau Pari sampai saat ini masih resah dengan adanya rencana pembangunan hotel oleh PT Bumi Pari Asri. Perusahaan pemilik izin ini memang telah mengantongi surat kepemilikan tanah Pulau Pari sekitar 90 persen. Dari sekitar 43 hektar luas Pulau Pari, 40 hektar dikuasai PT Bumi Pari Asri. Namun kepemilikan tanah itu bertentangan dengan aturan gubernur.

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1991, menjelaskan jika wilayah Pulau Pari dibagi menjadi tiga peruntukkan. Pertama ,50 persen dari luas pulau digunakan untuk pariwisata. Sedangkan seluas 40 persen pulau harus dipergunakan untuk pemukiman warga. Sisanya sebanyak 10 persen digunakan oleh Lembaga Lembaga Oseanologi Nasional, yang saat ini berubah menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Alasan inilah kemudian membuat beberapa warga memutuskan bertahan dari konflik dengan PT Bumi Pari Asri. Padahal, tempat tinggal dan usaha warga saat ini berada di tanah milik PT Bumi Pari Asri.

Berdasarkan informasi yang diterima, PT Bumi Pari Asri tidak akan melakukan pembongkaran terhadap toko-toko ataupun pemukiman yang sudah ada. Namun mereka meminta agar masyarakat tidak melakukan pembangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Rencananya, PT Bumi Pari Asri selain membuat hotel, perusahaan ini juga akan mengembangkan pariwisata Pulau Pari. Tentunya pengembangan Pulau Pari ini akan berdampak pada warga karena akan membuka lapangan pekerjaan.


Kritik dan Saran

Seharusnya warga tidak mudah terprovokasi oleh isu yang beredar dan menyiapkan dokumen-dokumen yang penting terkait dengan kepemilikan tanah sehingga jika terjadi sengketa warga sudah memiliki kekuatan secara hukum. 

Jika warga ternyata menempati tanah milik PT Bumi Pari Asri maka PT Bumi Pari Asri memiliki hak untuk mengambil alih lahan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1991 memang wilayah Pulau Pari sudah dibagi namun ada kemungkinan jika surat keputusan itu digantikan oleh keputusan yang lebih baru.

Namun jika Surat Keputusan Gubernur DKI tersebut tidak mengalami perubahan maka Pihak PT Bumi Pari Asri yang melanggar Ketentuan dan ada kemungkinan terjadi penyalahgunaan surat izin.


Baik dari Pihak warga maupun PT Bumi Pari Asri seharusnya dilakukan lagi perjanjian yang bahkan melibatkan beberapa pihak terkait supaya masalah sengketa tanah tersebut dapat diselesaikan tanpa merugikan banyak pihak. 

Sebaliknya jika ditemukan solusi yang tepat maka dapat menguntukan semua pihak terkait. Sehingga dapat memunculkan potensi wisata baru pada pulau pari dan meningkatkan perekonomian warga setempat.


Sumber: Sengketa Image